Berondong Mesum Simpanan Janda Muda Genit

Posted on

Udara dingin dalam cuaca mendung gelap yang menyesakkan. Sudah dua hari ini matahari enggan untuk menampakkan sinarnya. Angin kencang menggoyang daun-daun kering yang tampak ringkih bertahan di dahan. Hari-hari di bulan desember yang selalu basah dan gelap.

“Ma, Papa berangkat dulu ya.”
“Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan ngebut, ya?”

Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum. Wajahnya sebenarnya cukup lumayan, agak ganteng kalo dilihat dari Monas pake sedotan. Tubuhnya kurus kering, dengan kulit coklat kehitaman terbakar matahari. Rambutnya yang kriwil makin menambah kesan tak terurus pada diri pria itu. Ia  mengecup kening dan pipi istrinya yang bulat dan menggelitik pinggang ramping milik wanita itu.

“Ih, Papa nakal.” wanita itu menepis tangan suaminya yang mulai merambat menyusuri belahan buah dadanya yang besar. “Sudah ah, nanti Papa terlambat.” Dia mengingatkan.

“Mama cantik deh.” laki-laki itu kembali mengecup bibir sang istri. Wanita itu membalasnya singkat.
“Sudah siang, Pa.” dia kembali mengingatkan.
“Nanti masakin yang enak ya, Sayang.” bisik laki-laki itu sebelum keluar pintu.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Dia merasa bersyukur punya suami seperti Tarno, meski jelek tapi cukup bertanggung jawab. Itulah yang membuat Sari perlahan mulai bisa menerima kehadirannya, dan tanpa sadar, mulai mencintainya.

“Hati-hati di rumah ya, Sayang.” teriaknya sebelum masuk ke dalam kendaraan.

Di belakangnya, Sari memandangi dengan mata berkerlip. Ada cinta disana, yang perlahan makin membesar dari hari ke hari. Suaminya memang tidak ganteng, dia tahu itu karena Tarno adalah mantan sopir pribadinya. Mereka menikah karena Sari sudah hamil duluan, dan ironisnya, bukan dengan Tarno.

Sari dihamili oleh pacarnya, yang langsung kabur begitu tahu kalau gadis itu berbadan dua. Untuk menyelamatkan muka keluarga, ayahnya segera menikahkan gadis itu dengan siapa saja yang mau, dengan imbalan uang puluhan juta rupiah. Tarno yang mendengar hal itu, tanpa perlu berpikir 2 kali, langsung menerimanya.

Sebenarnya, tanpa imbalan uangpun, dia akan dengan senang hati melakukannya. Siapa sich yang tidak ingin menikahi gadis secantik Sari, yang kemolekan tubuhnya sanggup membuat Aura Kasih minder, biarpun gadis itu sedang hamil. Peduli setan, bagi orang jelek seperti Tarno, itu tidak masalah, yang penting bisa merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh gadis itu. Apalagi ini ditambah iming-iming uang 50 juta rupiah, yang membuat penawaran itu makin mustahil untuk ditolak.

“Jangan malam-malam ya pulangnya.” wanita itu mengantar Tarno sampai ke halaman depan. Wajah cerah dan cantik yang setiap hari melepasnya pergi, dan selalu mengisi benaknya selama jam kerja. Selalu membuat Tarno tak sabar untuk pulang ke rumah. Selalu?

“Ibunya ada, Dek?” Sari bertanya pada bocah kecil berumur 3 tahun yang sedang asyik mencoret-coret dinding rumah.
Bocah itu mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. “Di dalam.” sahutnya singkat.

Sari segera masuk ke dalam, meninggalkan bocah itu sendirian. Seperti biasa, dia menerobos rumah itu tanpa perlu merasa sungkan sedikitpun. Dia sudah mengenal baik pemilik rumah itu. Anita adalah tetangganya, sekaligus teman pertamanya saat awal dia pindah ke perumahan ini. Usia keduanya yang hampir sebaya membuat mereka cepat akrab. Hari ini, Sari berniat untuk belajar memasak. Kemarin Anita sudah janji untuk mengajarinya membuat nasi Rawon kesukaannya.

“Mbak, Mbak Nita?” Sari memanggil sambil terus melangkahkan kakinya. Ruang tamu dan ruang tengah sudah terlewati, tapi masih belum ada tanda-tanda keberadaan wanita berambut pendek itu.

“Mungkin di dapur, pagi-pagi gini kan biasa dia sibuk di dapur,” pikir wanita itu. Dengan riang, Sari terus menuju ke belakang. Saat melintasi kamar Anita, dia mengintip sebentar, tidak ada siapa-siapa disana. Samar-samar, telinganya menangkap suara gaduh dari arah dapur. Ah, memang benar, dia sedang berada di dapur sekarang.

“Mbak Nita?” sambil memanggil, Sari membelokkan kakinya menuju arah dapur.

Tapi langkah kaki wanita cantik itu langsung terhenti begitu melihat apa yang terjadi. Disana, berbaring di atas meja makan, tampak Anita tengah bergumul dengan seorang laki-laki. Pakaiannya acak-acakan. Payudaranya yang besar terlihat menonjol keluar karena kaosnya yang ketat tertarik ke atas, memperlihatkan sepasang buah dada yang putih mempesona dengan puting mungil mencuat indah ke atas.

Rok pendeknya yang berwarna abu-abu melorot ke bawah, memperlihatkan kemaluan wanita itu yang basah, licin dan kemerah-merahan, membuat penis besar milik si laki-laki bisa menusuk dan menembusnya dengan lancar.

“H-halo, Sar.” sapa Anita sambil merem melek saat melihat kedatangan sahabatnya. Mukanya licin penuh keringat, dengan bekas-bekas cupangan merata di seluruh pipi dan lehernya.

Sari terhenyak, sampai tak tahu harus berkata apa.
“S-sebentar ya, lagi tanggung nih.” tambah Anita sambil ikut menggoyangkan pinggulnya, mengimbangi tusukan laki-laki diatasnya yang sekarang tampak semakin cepat.

Dengan muka merona, Sari memalingkan mukanya. “Ah, aku tunggu di depan aja ya.” Dia merasa tidak enak memergoki Anita yang lagi berbuat mesum seperti itu.

“J-jangan,” Anita melarang. “T-tunggu disini aja. Enggak apa-apa kok.” Permintaan yang aneh, tapi entah kenapa Sari menurutinya.

Dia duduk di salah satu kursi dan menonton kelanjutan acara itu. Dia penasaran, sekaligus teransang juga, bagaimana Anita yang cantik bisa berbuat mesum seperti itu, dengan seorang laki-laki tua yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada partner seksnya. Sari tidak mengenal laki-laki itu, tapi dari ukuran penisnya yang super besar, dia bisa menduga alasan Anita mau menyerahkan tubuhnya pada laki-laki itu.

“Ahhh… ahhh…” Anita merintih saat kontol besar si lelaki menusuk dan mengocok memeknya makin cepat.

Dia menyambar bibir si lelaki dan melumatnya dengan rakus. Lidah mereka bertemu untuk saling menghisap dan mencampur air liur. Anita tampak sangat menikmati sekali meski bibir laki-laki itu begitu tebal. Di bawah, tangan si lelaki merambat untuk meremas-remas payudara Anita yang membusung indah.

Kelembutan dan kehangatannya rupanya membuat laki-laki itu jadi ketagihan. Sepanjang sisa permainan, dia terus berpegangan pada benda bulat padat itu.

Anita

“M-mau ikut g-gabung sini, Sar?” tanya Anita saat melihat Sari mulai meremas-remas payudaranya sendiri.
“Ah, tidak.” Sari cepat menarik tangannya dan merapikan bajunya yang mulai tersingkap. “Kamu teruskan aja.” dia masih malu untuk mengakui kalau sebenarnya dia juga teransang.

Anita tersenyum penuh arti, “S-selalu ada tempat buatmu k-kalau kamu berubah pikiran.” katanya.

Dan sebelum Sari sempat menjawab, wanita itu sudah berpaling untuk kembali menghadapi serangan lelaki di atasnya yang sekarang mendesaknya dengan semakin gencar dan bertubi-tubi. Rupanya, permainan sudah mulai mendekati babak akhir. Tidak peduli dengan Anita yang menjerit dan merintih-rintih, laki-laki tua itu terus menusukkan penisnya dalam-dalam, dan menariknya lagi dengan cepat, untuk kemudian menusukkannya lagi lebih dalam, hingga membuat Anita memekik dan menjerit keenakan.

Sari menonton semua adegan itu tanpa berkedip sedikitpun. Bahkan, dia juga sampai lupa untuk bernafas.
“Ah, pasti enak juga kalau memekku digitukan.” wanita itu membatin sambil mengusap-usap vaginanya sendiri. Benda itu mulai terasa basah.

“Ayo, Pak Karta, tusuk lagi lebih keras. Tusuk. Lebih keras!” Anita menceracau di sela-sela rintihannya.

Laki-laki tua yang dipanggil Pak Karta menyahut dengan geraman rendah, dan menusukkan penisnya untuk masuk lebih dalam lagi. Di atas, tangannya meremas-remas payudara Anita makin keras, membuat kulitnya yang putih mulus berubah menjadi memar kemerah-merahan. Putingnya yang mungil kecoklatan, kini tampak makin mencuat indah. Pak karta menunduk untuk menciumnya.

Laki-laki tua itu mencucup dan menjilatinya dengan penuh nafsu. Dia memilinnya dengan lidah, menggelitiknya dengan gusinya yang mulai ompong, dan membasahinya dengan air liur berbau tembakau murahan, kiri dan kanan secara bergantian. Anita yang mendapat serangan brutal seperti itu, cuma bisa menggelinjang sambil menjerit-jerit kecil. Matanya terpejam, sementara tangannya mendorong pinggul Pak karta agar bergerak makin kuat dan mantab.

“A-aku sudah mau k-keluar, Pak.” bisiknya parau.

Laki-laki tua itu segera mengatur posisi bokongnya untuk menyambut saat-saat yang membahagiakan itu. Diawali dengan jeritan panjang, tubuh Anita mengejang dan berkedut-kedut. Tangannya terkepal dengan mata terpejam rapat. Pahanya yang putih mulus menjepit pinggul renta si lelaki kuat-kuat dan dari dalam kemaluannya, menyembur cairan cinta lengket yang langsung merembes keluar saat si kakek menarik keluar penisnya.

“Ahh…ahhh..” Anita menghela nafas pendek-pendek. Sisa-sisa orgasme yang masih dirasakannya membuat tubuh wanita cantik itu bergetar hebat.

Di depannya, Pak Karta menampung semua cairan itu dan mengoleskannya rata ke paha dan perut Anita, hingga membuat kulit mulus wanita itu tampak makin mengkilat dan menggairahkan. Sisanya yang masih menetes-netes, dijilati oleh laki-laki tua itu.

“Uh, nikmat banget, Pak.” rintih Anita lirih saat lidah kasap Pak karta mencuci liang kemaluannya yang memerah hingga bersih.
Dengan penis yang masih tegak mengacung, laki-laki itu kemudian mendekati bibir Anita. “Di emut ya, Neng?”  pintanya.
Tapi Anita menggeleng. “Aku capek, Pak. Sama dia aja ya?” wanita itu menunjuk Sari yang duduk tak jauh dari mereka.

“Ah, aku?” Sari gelagapan, menyadari keadaan dirinya yang sekarang tak jauh beda dengan Anita, pakaiannya acak-acakan, dengan payudara dan vagina yang terlihat jelas dari luar. Selama menonton pertunjukan tadi, tanpa sadar, wanita itu ternyata sudah mempreteli bajunya sendiri, dan meremas-remas susu dan kemaluannya untuk mendapatkan kepuasan. Dia teransang melihat Anita yang sedang disetubuhi Pak Karta. Pak Karta yang melihatnya, langsung tersenyum lebar.

“Mari, Neng.” bisiknya serak sambil mengulurkan tangannya.
“Ah, tidak. Jangan!” Sari berusaha menepis saat tangan laki-laki itu ingin memijit dan meremas buah dadanya. Dia masih sungkan untuk menunjukkan bagaimana perasaaanya yang sebenarnya, padahal pakaiannya yang terbuka sudah menunjukkan sebaliknya. Bagaimanapun, dia belum kenal dengan Pak Karta dan dia tidak tahu siapa laki-laki itu sebenarnya.

“Ayolah, Sar. Nggak usah malu.” Anita yang tergolek lemah di atas meja makan memberinya semangat.
“Uh, aku…” Sari masih bimbang.
“Ayolah, Neng.” Pak Karta ikut memaksa. “Apa nggak pengen ngerasain ini.” laki-laki itu memamerkan kontolnya yang besar di depan Sari dan mengocoknya perlahan-lahan, hingga membuat wanita cantik itu langsung terdiam tak bergerak.
“Iya, tapi…” Sari menatap tak berkedip, mulutnya melongo dengan tarikan nafas pendek-pendek tak teratur. Tanda kalau dia mulai menyerah.

Sadar kalau sudah menguasai mangsanya, Pak Karta segera menarik tubuh Sari dan meraihnya ke dalam pelukan.
“Auw!” wanita cantik  itu menjerit lirih, tapi tidak menolak saat bibir tebal Pak Karta mulai menyusuri pipi dan lehernya. Bahkan dia mengimbangi ketika bibir itu melumat dan mencium bibirnya dengan rakus. Sari malah membuka mulutnya, membiarkan lidah Pak Karta membelit dan menggelitik bibir manisnya.

“Hmmp,” Pak Karta mengaduh saat merasakan tangan Sari yang mungil memijit dan mengelus-elus penisnya.
“Gede banget, Pak.” lirih wanita itu.

Pak Karta tersenyum bangga, “Bukan Neng aja yang bilang begitu.” sahutnya sambil kembali mencium bibir dan leher Sari yang jenjang. Tangannya merayap untuk meraih buah dada wanita itu dan meremas-remasnya dengan gemas. “Empuk banget, Neng. Gede lagi.” jari-jarinya memilin dan menjepit puting payudara Sari yang menonjol dan kemudian menarik-nariknya pelan.

“Ohhh,” Sari langsung melenguh karenanya. “Geli, Pak.” bisiknya mesra sambil menggelinjang. Anita yang menonton dari atas meja, cuma tertawa saja saat melihatnya.

Pak Karta kini menunduk untuk mencium dan menjilat bulatan kecil itu. Lidahnya bergerak liar, mencucup dan menghisap dengan gemas, membuat Sari yang sudah kegelian makin merintih-rintih tak karuan.

“S-sudah, Pak. Oooh… geli.” wanita itu menarik dadanya, menjauhkannya dari jangkauan Pak Karta agar lelaki itu tidak mempermainkannya lagi. Dia sudah benar-benar tak tahan. Sari sudah mempersiapkan memeknya ketika Pak Karta malah menyodorkan penisnya yang besar ke mulutnya.

“Emut dulu ya, Neng?” pinta laki-laki tua itu.

Dengan berat hati Sari mengangguk dan mengelus-elus daging panjang itu. Dia mengocoknya pelan sebelum akhirnya mengulumnya dengan penuh nafsu. Di dalam mulutnya, benda itu terasa semakin tegang dan membesar, membuat Sari jadi gelagapan dibuatnya. Penis itu juga berkedut-kedut terus, makin lama makin sering, tanda kalau tidak lama lagi benda itu akan segera meledak.

Sari yang tidak mau itu terjadi, segera memuntahkannya. Dia belum merasakan benda itu mengaduk-aduk vaginanya. Terlalu sayang kalau sampai penis itu muncrat sekarang. Pak Karta harus orgasme di dalam vaginanya.
“Harus!” Sari bertekad, dia sudah telanjur bergairah.

Wanita itu segera telentang di lantai dan membuka kakinya lebar-lebar, mempersilahkan Pak Karta untuk segera menyetubuhinya. Vaginanya yang mungil kemerahan, tampak sudah sangat basah dan lengket. Pak Karta yang melihatnya, segera menindih dan mengarahkan penisnya tepat ke bibir kemaluan Sari.

“Bapak masukkan sekarang ya, Neng?” bisik laki-laki itu parau. Sari mengangguk. Dan bersamaan dengan itu, dirasakannya penis besar Pak Karta mulai mendesak masuk.
Saat itulah, dari arah luar, seorang bocah kecil tiba-tiba berlari masuk.
“Adek?!” Anita berteriak panik.

Anaknya yang dari tadi bermain di luar rumah, tahu-tahu nyelonong ke tempat itu. Cepat wanita itu bangkit dan menyambar apa saja untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Begitu juga dengan Sari dan Pak Karta, kebingungan mereka mencari penutup tubuh untuk menghalangi pandangan bocah kecil itu.

“Ayo main di luar, Dek!” Anita merangkul putranya.
Tapi bocah itu memberontak, “Nggak mau. Adek mau main disini.”

Anita kebingungan. Di bawahnya, Sari melotot, menuntut agar Anita bisa segera menyelesaikan masalah itu. Dia sedang dalam posisi tanggung sekarang, penis Pak Karta sudah menembus kemaluannya, tinggal digoyang sedikit agar dia bisa mendapatkan kepuasan. Tapi kehadiran bocah itu telah merusak semuanya. Sari tidak mau bersetubuh dengan ditonton oleh anak kecil!

“Oke-oke, tenang saja.” Anita berusaha membujuk putranya sekali lagi, tapi bocah itu tetap saja membandel.
“Adek mau main disini.” teriaknya, malah kali ini sambil menangis, membuat Anita jadi tambah bingung.
“Bagaimana kalau aku pindah ke kamarmu saja?” Sari mengusulkan.

“Ehm, n-nggak bisa. A-ada Papanya Adek d-disana.” Anita menjawab malu-malu.
“Hah,” Sari melongo. Dia menatap sahabatnya itu dengan muka tak percaya. “Kamu selingkuh disaat suamimu berada di rumah?”

Anita tersenyum. “Tidak usah kaget seperti itu. Dia mabuk, dari semalam tidur pulas nggak bangun-bangun.”
“Tapi bisa saja kan dia tiba-tiba bangun sekarang?” Sari mulai panik.
“Cuma bom Atom yang bisa membangunkannya.” Anita tertawa. “Tenang saja, aman kok. Aku sudah sering seperti ini.” wanita itu menenangkan.

Sari teringat kamar Anita yang kosong saat tadi melihatnya. “Tapi dia tidak ada kamar?”
“Oh, dia tidur di lantai.” jawab Anita santai. “Aku nggak mau dia muntah diatas ranjang.” tambah wanita itu.
Sari sudah akan bertanya lagi ketika dia merasakan kedutan keras di dalam selangkangannya dan Pak Karta yang sedang menindih tubuhnya, tiba-tiba menggeram keenakan.

“Oh tidak. Jangan dulu!” wanita itu berusaha mencegah, tapi tembakan sperma Pak Karta  mustahil untuk dielakkan. Jadilah Sari ikut menggeliat-geliat setiap kali kontol Pak Karta mengejang untuk memuntahkan isinya.
“Uhh,”  wanita itu melenguh merasakan liang rahimnya yang sekarang jadi basah dan begitu penuh.

“Ah, maafkan Bapak ya, Neng.” Pak Karta menampakkan raut muka penuh penyesalan. “Bapak benar-benar nggak tahan.” lanjutnya. “Memek Neng benar-benar nikmat,  bikin kontol Bapak jadi kaya dipijat-pijat.”

Sari mengangguk maklum. Dia memang menggetar-getarkan memeknya tadi. Tapi dia tak pernah menyangka, getaran-getaran kecil akan mampu membuat Pak Karta melayang. Akibatnya, laki-laki itu jadi cepat orgasme, hal yang dari sudah tadi berusaha dihindari oleh Sari, karena dia belum terpuaskan oleh penis laki-laki tua itu.

“Sudah keluar ya?” tanya Anita. Dia yang sudah sering bercinta dengan Pak Karta, hafal benar bagaimana gaya laki-laki itu saat orgasme melanda.
Sari mengangguk tak bersemangat. Dengan tubuh lemas, dilepasnya penis Pak Karta yang sudah mulai  melembek dari jepitan memeknya.

“Maafkan Bapak ya, Neng.” sekali lagi laki-laki itu minta maaf.
“I-iya, Pak. Nggak apa-apa kok.” Sari berusaha tersenyum meski dalam hati masih sedikit jengkel.
“Papa?!” Adek yang sedang berada di gendongan Anita, berteriak gembira saat melihat seorang lelaki gendut yang terhuyung-huyung berjalan keluar dari kamar depan.

“Sial!” Anita mengumpat sambil menyambar pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat, sementara bocah kecil dalam gendongannya meloncat untuk berlari menyongsong Papanya.
“Ada apa, Ma? Berisik banget dari tadi.” mata lelaki itu masih setengah terpejam. Anita juga lega karena suaminya tidak mengenakan kaca matanya. Tanpa alat bantu itu, penglihatan suaminya cuma seawas mata bayi. Benar-benar buram.

“Ah, tidak ada apa-apa.” Dengan isyarat mata, Anita menyuruh Sari dan Pak Karta untuk bersembunyi. “Ini, si Dedek ngajak main, padahal mama kan lagi sibuk memasak.” wanita itu berusaha mengalihkan perhatian suaminya saat Sari dan Pak Karta merangkak beriringan menuju ke bawah meja makan.

“Ehm,” lelaki gendut itu memicingkan mata, memperhatikan tubuh istrinya, dan… “Memasak kok pakaiannya gitu?” tanyanya kemudian.

Nah lo! Anita menelan ludah sebentar sebelum menjawab. “Gerah, Pa. Begini lebih enak” dia beralasan. Padahal dalam hati mengumpat karena tidak sempat memakai kaosnya tadi. Akibatnya, payudaranya yang besar tampak menggantung indah, membuat siapapun yang melihatnya jadi bertanya-tanya. Setelah mencium dan meremas payudara Anita sebentar, laki-laki itu berlalu menuju  kamar mandi. Dibelakangnya, Adek mengikuti seperti anjing kecil mengikuti tuannya.

“Ah,” Anita menghembuskan nafas lega. Dia selamat lagi.
Dari bawah meja, kepala Sari menyembul. “Gimana?” dia bertanya tanpa mengeluarkan suara.
“Aman.” sahut Anita pelan. “Dimana Pak Karta?”

Sari menunjuk pintu belakang yang terbuka. Diantara semak-semak berduri, tampak Pak Karta yang sedang berusaha meloncati pagar belakang yang menjulang tinggi. Meski tubuhnya sudah renta, laki-laki itu tanpa kesulitan melakukannya.

“Hebat juga dia.” Anita memuji.
Sari mengangguk. “Ngomong-ngomong, kamu kenal sama dia dimana?”
“Ehm, dia tukang becak langgananku.” Anita berterus terang.
“Sudah sering kalian melakukannya?” Sari bertanya lagi.

“Baru 1 bulan sih.” Anita mengambil BH-nya yang berserakan dan mengenakannya. “Pake dulu bajumu, nanti keburu suamiku keluar.” dia mengingatkan Sari yang sampai sekarang masih telanjang.

“Oh, iya.” Wanita itu tersenyum.”Penisnya besar, ya?”
“Siapa? Pak Karta?” Anita bertanya.
Sari mengangguk. “Iya, siapa lagi?”
“Memang itunya yang bikin aku ketagihan.” bisik Anita sambil tertawa.
Sari ikut tertawa. “BH-ku mana ya?” dia bertanya saat tidak bisa menemukan BH-nya.

“Masa ilang sih?” Anita ikut membantu mencari, tapi sampai muter-muter kemanapun, BH itu tetap tidak kelihatan. “Ehm, mungkin dibawa Pak Karta. Dia suka begitu, BH-ku aja banyak yang diambil buat kenang-kenangan.”
“Ah, benarkah?” Sari terpaksa mengenakan kaosnya tanpa BH, membuat payudaranya yang indah makin kelihatan indah. “Bagaimana kamu tahu kalau Pak Karta punya kontol besar kayak gitu?”

Anita tersenyum, “Suamiku yang cerita. Biasa, obrolan sebelum tidur. Karena penasaran, ya kubuktikan aja, haha…”
Sari ikut tertawa. “Dasar istri nakal.” sahutnya. “Eh, apa dia tidak pernah cerita soal Mas Tarno?”
“Nggak tuh,” Anita menggeleng. “Emang kenapa dengan suamimu?”
“Ehm, tidak…” Sari tampak ragu-ragu untuk menjawab.

“Jangan-jangan, kontolnya juga gede ya?” tebak Anita asal.
Tapi tebakan itu langsung membuat Sari terhenyak tak mampu bicara.
“Wah, berarti bener dong.” Anita tertawa untuk merayakan kemenangannya. “Boleh kapan-kapan dicoba?” tambahnya sambil tertawa lebih keras.
“Enak aja!” Sari menyikut siku sahabatnya itu, tapi tidak ada nada marah dalam suaranya.

“Mau bertukar suami?” Tawaran serius yang membuat wanita itu jadi gelagapan saat menjawabnya.
“Ayolah, kamu bisa memuaskan hasratmu sekarang. Tuh, dia lagi di kamar mandi.” Anita menunjuk ruangan kecil disebelah mereka. Dari dalam, terdengar suara air mengucur, diselingi senandung serak seorang laki-laki, suami Anita.

“Ah, aku…” Sari bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. Memang benar, dia sedang bergairah saat itu, dan butuh pelampiasan untuk menuntaskan hasratnya yang tadi terputus. Tapi dia juga tidak rela kalau harus membagi tubuh suaminya dengan orang lain, meski itu adalah Anita, sahabat baiknya sendiri.

“Ayolah, tunggu apa lagi?” Anita terus mendesak. Setelah tahu kalau suami Sari mempunyai kontol yang sangat besar, wanita itu langsung penasaran untuk mencobanya. Caranya, dengan menukar suaminya dengan laki-laki itu.
“T-tapi aku tidak b-bisa,” Sari menggeleng.

“Lihat aja dulu, baru kau putuskan.” Anita mendorongnya agar mengintip ke dalam kamar mandi. Disana, berdiri di bawah pancuran, tampak suami Anita sedang membasuh tubuhnya. Laki-laki itu telanjang, dengan perut gendut dan lemak yang menggelambir di seluruh tubuhnya. Di sebelahnya, si Adek jongkok sambil memainkan busa sabun yang menutupi tangannya.

“Kok nggak kelihatan?” bisik Sari pada Anita.
“Ah, masa sih?” Anita ikutan mengintip. “Itu, sebesar itu masa nggak kelihatan?”
“Ah, anu… Kontolnya yang nggak kelihatan.” muka Sari merona merah.
Anita tertawa. “Tahu sendiri kan kamu sekarang, kenapa aku selingkuh dengan Pak Karta?”

Sari mengangguk. Penis suami Anita memang sangat kecil, mirip dengan punya anak-anak. Mungkin karena pengaruh tubuhnya yang gendut, jadi penisnya tidak bisa tumbuh maksimal.

“Kalau memang begitu, terus.. bagaimana kamu bisa punya anak?” Sari bertanya.
“Mirip nggak anakku sama Papanya?” Anita balik bertanya.
“Eh, jangan bilang kalau dia bukan anak Mas Danu!” Sari memekik. Danu adalah nama suami Anita, nama laki-laki yang saat ini sedang mereka intip.

“Hehe… biarlah itu menjadi rahasiaku.” Anita tersenyum penuh arti. “Yang penting sekarang, mau nggak kamu menerima tawaranku tadi?”
Sari langsung menggeleng dengan cepat. “Nggak ah, sepertinya dia nggak bakalan memuaskan.”

Raut kecewa langsung terpasang di wajah cantik Anita. “Kalau tukar dengan Pak Karta, gimana?” dia memberikan alternatif.
“Ehm, kalau yang itu boleh juga.” Sari tersenyum saat membayang penis raksasa milik Pak Karta mengaduk-aduk vaginanya. Dia tidak akan rugi kalo menukar tubuh suaminya dengan tubuh laki-laki tua itu.

“Ah, dasar kamu, ternyata sama aja.” ledek Anita sambil mencubit pinggang sahabatnya. Mereka tertawa berbarengan dan pergi ke depan untuk membahas kapan waktu yang tepat untuk melakukan pertukaran itu.

Di jalan depan rumahnya, tampak beberapa tetangganya berlari atau berjalan cepat sambil membawa pentungan atau senjata apa saja yang sempat mereka raih. Teriakan dan umpatan terdengar semakin keras dan gencar. Sepertinya ada maling apes yang kepergok patroli warga.

“Dia lari kesana.” Seseorang menunjuk rumpun bambu di ujung gang. Beberapa orang langsung merangsek kesana, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari.
“Tidak mungkin dia lari jauh,” itu suara Pak RT.

Udara malam yang dingin, ditambah tubuhnya yang telanjang, membuat Sari menggigil dengan cepat. Wanita itu meraih taplak meja di sebelahnya dan melingkarkannya di tubuh, sekedar untuk sedikit menghangatkannya. Beberapa orang bersenjatakan parang atau batang bambu, masih berkeliaran di depan rumahnya. Entah barang apa yang berhasil digondol oleh si pencuri hingga membuat hampir seluruh warga kampung keluar malam ini.

“Pokoknya dia harus tertangkap!” geram seorang pemuda sambil berjalan cepat.

Kalau saja dia tahu, 2 meter di sebelah kirinya, ada seorang wanita cantik yang sedang berdiri mematung dengan tubuh telanjang dan gairah yang menggebu-gebu, pemuda itu pasti akan langsung membelokkan langkahnya, tidak jadi mengejar si maling. Sari tertawa sendiri saat membayangkannya. Ruang tamu yang gelap menyembunyikan tubuhnya dengan baik, membuat dia aman dari pandangan orang-orang yang berlalu lalang di depan sana.

Klontangg! Suara aneh di belakang rumah membuat Sari berpaling.
“Apa itu?” dia bertanya dalam hati.

Cepat wanita itu membangunkan suaminya. Tapi Tarno yang sedang kelelahan, mustahil untuk dibangunkan. Mau tak mau, tampaknya Sari harus memeriksanya sendiri. Dengan berbekal senter dan gagang sapu, wanita cantik itu berjalan pelan ke belakang.

Dia juga sudah mengganti taplak meja dengan pakaian yang lebih pantas, sebuah kimono tipis yang masih tetap tidak bisa menyembunyikan kemolekan tubuhnya karena Sari tidak mau repot-repot mengenakan apa-apa lagi di baliknya, hingga paha dan payudaranya yang bulat tampak indah menerawang. Bak seorang ninja yang sedang beraksi, Sari mengendap-ngendap menuju asal sumber suara. Sepertinya dari arah kamar mandi di belakang rumah.

Sari menyorotkan senternya dan langsung memekik. “Ahh…” tapi jeritannya langsung terpotong oleh bungkaman tangan mungil berbalut sarung tangan hitam.
“Sst… Kak, diamlah. Ini aku.” Orang itu membuka topengnya untuk memperlihatkan wajahnya yang sebenarnya.

“Budi?” Sari menatap tak percaya. Budi adalah adik iparnya, dia adik Tarno yang paling bungsu. “Ngapain kamu di…” kesadaran langsung menghantamnya saat melihat pakaian yang dikenakan bocah itu, baju hitam, topeng hitam, sarung tangan hitam, jenis baju yang dikenakan oleh seorang… “Kamu pencuri itu!” suara Sari bergetar penuh ketakutan.

“Ijinkan aku masuk, Kak.” rengek bocah itu. “Kalau sampai tertangkap, mereka akan membunuhku.” Suaranya serak, seperti mau menangis.
“Kenapa kamu jadi pencuri?” Sari bertanya penuh kemarahan.
“Ijinkan aku masuk dulu, Kak. Nanti akan aku jelaskan semuanya.” Budi merangsek, tapi Sari tetap tidak memberinya jalan.

“Lepas dulu bajumu.” Sari memerintah.
“Hah?” Budi menatap tak percaya. “Buat apa?”
“Pokoknya, lepas dulu bajumu.” Sari bersikeras.
“Kenapa, Kak?” Budi meminta alasan.

“Sebagai jaminan. Kalau kamu nakal lagi, aku akan menyerahkan baju itu ke Pak RT, biar kamu diadili, dimasukkan ke dalam penjara.” sahut Sari kesal.
“Ah, jangan, Kak.” Budi mengembik.
“Makanya jangan nakal. Ayo, sekarang lepas bajumu!” Sari melotot.
“Semuanya?” tanya bocah itu ketakutan.

“Iya, semuanya.” Sari menatap tajam saat Budi mulai mencopoti bajunya satu per satu. “Eh, apa itu?” tanyanya curiga saat melihat sesuatu yang menonjol di balik celana dalam adik iparnya. “Barang curianmu, ya?”
“Ah, bukan, ini…” Budi bingung mau menjawab apa.
“Sini keluarkan!” Sari membentak cepat.

“Jangan, Kak. Ini kon…”  tapi belum sempat bocah itu menyelesaikan kalimatnya, Sari sudah keburu mengulurkan tangannya untuk menyentuh benda itu, akibatnya…
“Ah,” muka wanita cantik itu langsung memerah seperti kepiting rebus.
“Ehm, maafkan aku, Kak.” Budi menunduk, tak berani menatap wajah kakak iparnya.

Gairah Sari yang tadi sempat meredup, kini terpancing lagi begitu merasakan kehangatan gundukan daging itu. “Kenapa  bisa ngaceng kaya gini?” tanyanya sambil mengelus-elus benda itu dari luar celana.

Budi yang merasa keenakan, tidak langsung menjawab. Bocah itu malah mendesah kegelian merasakan belaian tangan Sari di kemaluannya. “Emm, Tapi janji ya, Kak, jangan marah.”

“Iya,” Sari mengangguk.
Setelah menelan ludahnya, bocah itu berbisik. “Emm, lihat aja tubuh Kakak, siapa juga yang tahan lihat tubuh indah kaya gini?”

Sari menunduk untuk memandangi tubuhnya. Meskipun saat itu gelap, tapi tonjolan pinggul dan payudaranya tampak terlihat jelas, begitu juga dengan puting dan rambut kemaluannya yang tercetak samar-samar, ditambah dengan paha putih mulus yang sedikit tersingkap, jadilah Sari seperti bidadari yang telanjang malam itu. Pantas saja Budi jadi ngaceng dibuatnya.

“Kamu suka tubuh Kakak?” Sari bertanya dengan kerling mata menggoda. Di bawah, tangannya masih terus mengelus-elus penis bocah itu, membuat kontol Budi yang sudah menegang menjadi makin membesar dan mengembung di balik celananya.
“Ah, suka, Kak.” bocah itu mengangguk. “Suka sekali.”

“Kalau begitu, ayo cepat masuk.” suara orang-orang yang sedang berlari mendekat menuju rumah itu membuat Sari terpaksa menyingkirkan badan, memberi jalan bagi Budi agar segera bersembunyi di dalam rumahnya.

“Diam disitu.” Sari menyuruh bocah itu agar menunggu di dapur. Tapi bukannya menurut, Budi malah mendekat dan merangkul Sari dari belakang. “Auw!” wanita itu langsung memekik lirih. Senter yang dipegangnya terjatuh ke lantai saat tangan Budi menyusup untuk meremas-remas payudaranya yang bulat dengan lembut.

“Ah, apa yang…” protes Sari terpotong oleh suara gaduh di luar rumah.
Para peronda malam sudah sampai di belakang rumahnya. Dia tidak boleh bersuara kalau tidak mau ketahuan.

“Maling itu lari kesini. Cepat cari!” lagi-lagi suara Pak RT. Beberapa orang terdengar  menyisir semak-semak, diikuti beberapa pemuda yang membawa lampu sorot besar, sisanya mengintip ke dalam kamar mandi Sari yang terbuka.
“Tidak ada, Pak.” seorang remaja memberi laporan.
“Cari terus, dia tidak mungkin lari jauh.” geram Pak RT.

Sementara di luar orang ramai mencari dirinya, di dalam, Budi makin merapatkan pelukannya ke tubuh kakak iparnya yang aduhai. Dengan gemas, bocah itu memijit  dan mengusap-usap payudara bulat milik Sari. Jari-jarinya yang panjang menari-nari, menggelitik dan memilin-milin puting Sari yang mungil kemerahan.

“Uhh,” wanita itu menggelinjang dan melenguh tanpa suara. Di depan mereka, cuma dipisahkan oleh tembok dapur, beberapa orang masih terus menyisir halaman belakang.

“Hentikan, Bud. Banyak orang disini sekarang.” bisik Sari lirih mengingatkan.

Tapi Budi tetap membandel, “Mereka tidak dapat melihat kita, Kak.” Bocah itu terus memeluk dan meremas-remas payudara besar milik kakak iparnya. Bahkan kini salah satu tangannya turun ke bawah untuk menjamah vagina Sari yang berambut tipis.

“Ah, jangan, Bud.” Sari memberontak, tapi usahanya yang setengah hati membuat Budi terus menelusurkan tangannya. Bocah itu mengusap-usap paha Sari sebentar sebelum akhirnya menyusupkan jarinya untuk mengorek-orek bibir kemaluan wanita cantik itu.

“Ahhh,” tubuh Sari mengejang. Rasa risih yang dari tadi menyandera dirinya langsung menguap hilang begitu merasakan nikmatnya tusukan jari-jari itu. Wanita itu melenguh keenakan.

Sambil terus meraba tubuh kakak iparnya, Budi menyingkirkan rambut yang menutupi tengkuk jenjang Sari. Dengan bibirnya yang tebal, bocah itu mencicipi kelembutan kulitnya yang sedikit berbulu, juga pipi Sari yang empuk kemerahan, dan berakhir di bibir wanita itu yang manis dan tipis.

Mereka berciuman, sangat panas dan sangat lama. Bibir mereka bertemu dan bersatu rapat dengan lidah saling membelit dan menghisap. Hidung mereka yang saling bergesekan menjadi saksi betapa nikmatnya ciuman pertama itu.

“Hah… hah…” Sari megap-megap saat Budi melepaskan bibirnya. Wanita itu segera menarik nafas panjang untuk mengisi paru-parunya yang kosong dengan udara. Dia sampai lupa bernafas karena saking nikmatnya.

Di belakangnya, Budi tersenyum penuh kepuasan. Dia yang culun, tak pernah menyangka akan bisa merasakan kehangatan tubuh kakak iparnya yang aduhai seperti sekarang ini, orang yang sudah menjadi fantasinya di tempat tidur sejak pertama kali dia melihatnya bersanding dengan Mas Tarno di pelaminan 2 bulan yang lalu.

“Dilepas ya, Kak?” bisik Budi sambil berusaha membuka baju tidur Sari. Jari-jari tangannya dengan terampil meloloskan ikatannya hingga membuat kain tipis transparan itu luruh dengan cepat ke lantai.

Sari menggeliat merasakan tubuhnya yang sekarang telanjang. Dibokongnya, dia merasakan penis Budi yang besar menempel ketat dan menyodok-nyodok minta diijinkan untuk masuk. Entah kapan bocah itu melepas celana dalamnya karena tahu-tahu sekarang mereka berdua sudah sama-sama telanjang. Tubuh bugil mereka berpelukan dengan erat, dengan lubang kelamin yang sama-sama basah, tampak saling menginginkan kehadiran satu sama lain.

“Aiihhh,” Sari mendesah pelan saat jari-jari nakal Budi kembali menggerayangi kemaluannya. Bocah tanggung itu mengusap-usap vagina Sari hingga membuat daging kemerahan yang sudah basah itu menjadi lebih basah lagi.

“Sudah, Bud. Kakak sudah nggak tahan lagi.” rengek Sari sambil tangannya menggapai-gapai, mencari penis Budi yang dari tadi terus menyundul-nyundul bokongnya. Saat menemukannya, wanita itu langsung menggenggamnya erat dan mengocoknya dengan cepat. Benda itu terasa keras dan hangat, juga besar.

Ujungnya yang tumpul sedikit berlendir, dengan rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar pangkalnya. Sari menyukainya. Inilah penis brondong pertama yang akan mengisi kemaluannya. Wanita itu menekuk tubuhnya, menungging. Sambil berpegangan pada pintu dapur, Sari membuka kakinya, mempersilahkan Budi untuk menusuknya dari belakang.

“Lakukan, Bud. Kakak sudah siap.” Pintanya tanpa malu-malu.

Budi meludahi penisnya agar benda itu menjadi sedikit licin. Dengan memajukan pinggulnya, bocah itu mengarahkan penisnya. Ujungnya yang gundul tepat menuju ke bibir kemaluan Sari yang sedikit terbuka. sambil menahan nafas, Budi mendorongnya, dan…

“Ohhhhh,” kakak iparnya langsung memekik lirih, tak peduli dengan kehadiran orang-orang yang saat itu masih memenuhi halaman belakang rumahnya. Tubuh wanita cantik itu bergetar dan menggelinjang pelan saat Budi mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur.

“Gimana, Kak, enak?” tanya bocah itu sambil memegangi pinggul Sari yang bulat dengan kencang.
“Enak banget, Bud. Ohhh… Terus!” Sari menjawab di sela-sela rintihannya.

Gesekan penis Budi di dinding vaginanya benar-benar membuat wanita cantik itu melayang. Rasanya sungguh luar biasa. Inilah yang dia cari sejak tadi, penis yang mampu memuaskan gairahnya. Setelah dikecewakan dan dicueki oleh suaminya, sekarang Sari mendapat ganti yang setimpal.

Budi adalah orang yang tepat untuk mengantarnya menggapai kenikmatan tertinggi: orgasme yang dahsyat dan berulang-ulang, terus sepanjang malam, hingga membuat wanita itu pingsan kelelahan.

“Kamu mau kan, Bud?” tanya Sari diantara lamunannya.
“Em, mau apa, Kak?” Budi bertanya tak mengerti. Tangannya kini pindah ke depan, memegangi payudara Sari yang terayun-ayun indah di setiap goyangannya.
“Oh, tidak. Tidak usah dipikirkan.” Sari mengutuk kebodohannya sendiri. “Teruskan saja goyanganmu.”

Budi kembali menggerakkan penisnya, kali ini dengan lebih cepat karena vagina Sari sudah sedemikian basahnya. Dia juga menusuk makin ke dalam, membuat Sari makin merintih dan menggelinjang keenakan.
“Kamu pinter banget, Bud. Sudah sering ya main beginian?” tanya Sari sambil ikut menggerakkan pinggulnya, mengimbangi goyangan Budi yang terasa makin kencang.

“Nggak sering juga sih, Kak.” Budi menunduk untuk menciumi punggung dan leher kakak iparnya. ”Tapi pernah, beberapa kali.” Dan menggelitikkan lidahnya disana.
“Ahhh,” Sari mendesah kegelian. “S-sama pacar kamu ya?” tebaknya.
“Budi belum punya pacar.” jawab bocah itu jujur, membuat Sari sampai menoleh karena kaget.
“Terus sama siapa?” tanyanya penasaran.

“Ehmph,” tapi bukannya menjawab, Budi malah menyambar dan melumat bibir tipis Sari dengan rakus. Sambil mencium, bocah itu juga terus memijit dan meremas-remas bongkahan payudara kakak iparnya yang membusung. Sementara di bawah, penis besarnya terus menusuk-nusuk, menggesek dan menyeruak masuk, mengobrak-abrik kemaluan wanita itu yang makin basah kemerahan.

“Uhhhh,” Sari merintih keras. Tidak peduli meski saat itu di belakang rumahnya sedang banyak orang. Bodoh amat, pikirnya. Biar aja ketahuan, yang penting dia bisa puas malam ini. Paling kalo ketahuan, yang mergoki juga pengen ikutan main. Membayangkan para peronda yang jumlahnya puluhan mengeroyok dirinya, anehnya malah membuat Sari makin bergairah.

“Lebih keras, Bud. Oohhh…” wanita itu membetulkan posisi bokongnya. “Goyang lebih cepat!” perintahnya. Sari berpegangan erat ke pintu dapur saat Budi dengan senang hati memenuhi permintaannya. Penis hitam bocah itu menghunjam keras berkali-kali, menusuk hingga mentok ke dalam rahimnya, menggesek dinding kemaluannya yang sudah sangat basah, dan menggelitik kelentitnya hingga membuat wanita itu merintih-rintih lirih keenakan.

“Jangan keras-keras, Kak, teriaknya.” Budi mengingatkan Sari yang sepertinya mulai hilang kendali. “Nanti ketahuan.” Dia tidak mau diarak ke balai desa sekarang karena ketahuan berselingkuh dengan kakak iparnya yang cantik ini. Bocah itu masih ingin merasakan tubuh sintal Sari lebih lama lagi. Tapi sepertinya peringatan Budi itu sudah terlambat, karena tak sampai 1 detik kemudian, terdengar ketukan ringan di pintu dapur di depan mereka.

“Mbak Sari?” itu suara Pak RT. “Mbak tidak apa-apa?”
Dengan terkesiap, Budi langsung menghentikan goyangannya. Begitu juga dengan Sari, wanita itu segera membekap mulutnya agar tidak bersuara lagi. Untuk sesaat, suasana cukup tegang.

“Mbak perlu bantuan?” tanya Pak RT lagi sambil mengetuk pintu dapurnya lebih keras.

“Gawat nih,” batin Sari dalam hati. “Kalau nggak dijawab, bisa-bisa ngebangunin Mas Tarno.” dia tidak mau suaminya memergoki dirinya yang berdua berpelukan dengan Budi dengan tubuh telanjang, dengan alat kelamin mereka yang sedang menyatu erat.

“Jawab, Mbak.” bisik Budi sambil menarik keluar penisnya.
“Ahh,” gesekannya yang memabukkan kembali membuat Sari merintih.

“Buka pintunya, Mbak.” kembali terdengar suara cempreng Pak RT, dan sebelum laki-laki itu memukul-mukul pintunya lagi, Sari segera menguaknya sedikit, sekedar cukup untuk dia mengintip keluar.

“Ohh,” di halaman belakangnya, berkumpul hampir 10 lelaki. Semuanya adalah tetangganya yang sudah dia kenal. Sementara Sari menghitung siapa saja yang ada di situ, di depannya, Pak RT memandang tubuhnya tanpa berkedip. Begitu juga dengan kesembilan orang yang lain. Bahkan Mbah Kosim, orang tertua yang ada disitu, sampai menjatuhkan pentungannya karena saking terkejutnya.

Berdiri di antara celah-celah pintu, Sari tampak lupa dengan tubuhnya yang telanjang. Dia cuma menyembunyikan pinggulnya karena di situ ada Budi yang sekarang asyik menjilati memeknya. Sementara payudaranya yang besar, tetap dia biarkan terburai keluar, hingga menjadi pemandangan yang mengasyikkan bagi kesepuluh orang itu.

“Eh, m-mbak Sari t-tidak apa-apa?” tanya Pak RT gelagapan sambil kesulitan menelan ludahnya. Matanya terpaku pada payudara Sari yang putih mulus. Meski cuma terlihat sedikit, tapi itu sudah cukup untuk membuat laki-laki setengah baya itu berkeringat dingin. Dibelakangnya, para peronda malam berjalan mendekat agar bisa melihat pemandangan itu lebih jelas lagi.

“I-iya, pak. Tadi ada tikus, auw!” Sari menjerit saat dibelakangnya, Budi mencucup vaginanya yang basah dengan keras.
“A-ada apa, mbak?” Pak RT bertanya ragu, bingung antara rasa khawatir dan kepingin.

“B-bukan apa-apa.” Sari mencoba tersenyum. tapi rasa nikmat di selangkangannya mustahil untuk dielakkan. Akibatnya, wanita itu kembali mendesah.”Ahhhhh!” membuat kesepuluh orang di depannya, ikutan mendesah. Bahkan ada beberapa yang sudah gak tahan, mulai mengelus-elus penisnya sendiri.

“M-mbak hati-hati ya,” kata Pak RT lagi sambil matanya tetap tak berkedip merayapi tonjolan buah dada wanita didepannya, berusaha mencari-cari putingnya yang bersembunyi di balik bayang-bayang. “Tadi ada maling disini.” lanjutnya serak dengan muka merah padam menahan gairah.

Sari mengangguk tanpa suara. Dia bukannya tidak menyadari arah pandangan mata pak RT dan semua laki-laki yang ada disana, dia tahu itu sejak pertama kali dia membuka pintu. Sari cuma tidak mengira, di malam yang gelap ini, dan dengan celah yang cuma sedikit, tubuhnya akan terlihat jelas. Padahal sebenarnya, itulah yang terjadi, tubuh Sari seperti menyala di malam tanpa bulan ini.

“Mau saya bantuin nangkepin tikusnya, Mbak?” tanya seorang lelaki pendek gempal yang sering dilihat Sari nongkrong di warung Yu Ijah. Tampak tonjolan daging di selangkangan laki-laki itu sudah sedemikian besarnya.

“Iya, Mbak. Biar nggak nakutin mbak Sari lagi.” sahut temannya yang lain, seorang lelaki berkulit gelap dengan rambut panjang dikuncir kebelakang.

“Kalo soal nangkep tikus, saya jagonya mbak.” timpal yang lain. Sari tidak tahu siapa yang bersuara karena tiba-tiba saja semua mengajukan diri untuk membantu menangkap tikusnya.

“Hush, sudah-sudah.” Pak RT melerai. “Kita disini ini mau nangkep maling, bukan nangkep tikus.” ketus laki-laki itu pada anak buahnya. Tapi dalam hati juga tidak menolak seandainya Sari tiba-tiba meminta dirinya untuk membantu menangkap tikus itu.  Sapa tau nanti dapat imbalan tubuh Sari yang montok. Uh, membayangkannya saja sudah membuat laki-laki setengah baya itu menelan ludah.

“Ehm, m-makasih bapak-bapak. Tapi, ahhhhh…. t-tikusnya sudah pergi kok.” jawab Sari terbata-bata dengan tubuh menggelinjang.

Di bawahnya, tersembunyi di balik pintu, Budi terus mengobok-obok kemaluannya. Bukan hanya dengan lidah, sekarang bocah itu juga menggunakan dua jarinya untuk mengocok memek Sari, membuat benda itu makin basah dan panas.

Pak RT sudah akan berkata lagi ketika Sari mulai menutup pintunya. “Maaf ya, Pak. Sudah malam, saya mau tidur dulu.” pamitnya ramah. Raut kekecewaan langsung terpancar di wajah para tetangganya begitu mengetahui kalau pemandangan indah itu akan segera berakhir.

“I-ya, Mbak. Silahkan.” sahut Pak RT.
“Semoga malingnya cepat tertangkap, Pak.” Sari tersenyum dan menutup pintunya, kemudian menguncinya dari dalam.

Di belakangnya, Pak RT menghela nafas panjang. Begitu juga dengan beberapa orang yang lain. Sisanya, tanpa permisi langsung ngacir ke rumah masing-masing untuk meniduri istri-istri mereka yang meski tidak secantik Sari tapi cukup lumayan sebagai tempat pelampiasan hasrat.

“Sebaiknya kita pulang juga.” Pak RT akhirnya memutuskan saat melihat cuma tersisa 2 orang di tempat sepi itu.
“Malingnya gimana, Pak?” tanya Mbah Kosim sambil benerin letak kacamatanya.

“Besok aja. Kita tunggu kalau dia beraksi lagi.” Akhirnya, beriringan mereka pergi meninggalkan tempat itu, memberi keleluasaan bagi Sari dan Budi untuk melanjutkan hasrat mereka yang tadi sempat tertunda.

“Kak, jilatin ya, mau kan?” Budi mengecup leher Sari yang jenjang, lalu terus merambat naik ke pipi dan bibirnya. Sari membalas ciuman itu dengan lembut. Lidah mereka bertemu sebentar untuk saling menyentuh dan menghisap.
“Gede banget kontolmu, Bud.” bisik Sari lirih sambil membelai-belai daging hitam itu.

“Iya, Kak. Cepet diisep, ya?” Budi tidak menanggapi pujian kakak iparnya. Dia menyerahkan penis hitamnya pada Sari, membiarkan wanita cantik itu untuk menggenggam dan mengelusnya pelan. Terasa begitu kuat dan kokoh, membuat Sari jadi takjub. Mungkin dia akan benar-benar mendapat kepuasaan kali ini.

“Ayo, Kak, cepet diisep!” pemuda itu mendorong penisnya, sedikit memaksa saat memasuki bibir mungil Sari.
“Hmmph,” dengan agak kesulitan Sari membuka mulutnya dan menelan daging panjang itu.
“Iya, gitu, Kak. Isep terus.” Budi mendesah. “Enak, Kak.” Matanya merem melek merasakan gesekan bibir Sari di batang penisnya.

Tidak menjawab, Sari terus mengulum benda hitam itu. Dia juga menyukainya. Penis itu begitu panjang dan gemuk, membuat mulutnya yang mungil jadi tidak sanggup untuk menampung semuanya. Batang itu juga terus bergetar dan berkedut-kedut di dalam mulutnya tiap kali Sari menghisap ujungnya, ujung yang gundul dan tumpul, yang pasti akan terasa nikmat sekali saat menembus vaginanya nanti.

“Suka ngisep kontol ya, Kak?” Budi bertanya kurang ajar saat melihat kakak iparnya yang tampaknya bernafsu sekali menggarap penisnya.

“Ehm, ahmmph!” cuma itu jawaban dari Sari karena sekarang mulutnya penuh oleh kontol pemuda itu. Sambil mengulum, wanita cantik itu juga mengocoknya pelan, malah kadang-kadang jilatannya turun menuju buah pelir Budi untuk sekedar mencucup dan menjilatinya sebentar

“Oouhh, Kak..” Budi kembali mendesah. Dia tidak pernah menyangka jilatan kakak iparnya akan begitu nikmat seperti ini. Melihat keseharian Sari yang bersih dan rapi, sepertinya mustahil bagi wanita cantik itu untuk  mau berbuat kotor seperti ini.

“Apa Kakak nggak jijik?” tanya pemuda itu dengan suara bergetar.
Sari mendongak. “Kontolmu enak. Kakak suka.” Dan selesai menjawab, dia kembali mencaplok daging panjang itu, membuat Budi kembali mendesah dan menggeliat-geliat dengan mata merem melek keenakan.

 

“S-sudah, Kak. Aku sudah nggak tahan.” Budi menarik kepala Sari, meminta wanita untuk berhenti. “Aku nggak mau keluar di mulut Kakak.”
Sari tersenyum dan mengelap bibirnya yang basah dengan baju tidurnya. “Terus, maunya keluar dimana?” dia memancing.

“Disini!” jawab Budi cepat sambil mengelus-elus vagina Sari yang sudah sangat basah. Begitu basahnya hingga beberapa menetes membasahi lantai dimana wanita itu tadi berjongkok.

“Mau melakukannya sekarang?” Sari bertanya sambil mulai naik ke atas meja makan.
“Iya, Kak. Aku sudah nggak tahan.” sahut Budi sambil melotot memperhatikan kakak iparnya yang dengan gerakan indah dan erotis berbaring di atas meja dan membuka belahan pahanya lebar-lebar.

“Lakukanlah, Bud. Kakak sudah siap.” Sari mengelus-elus vaginanya yang basah, yang tetap terlihat indah dan menggoda meski saat itu suasana begitu gelap.
Budi yang sudah menunggu saat-saat itu, segera memposisikan penisnya. Dia berdiri di tepi meja, tepat di depan Sari, dengan ujung penis menempel di bibir kemaluan wanita cantik itu.

“Ayo, lakukan.” pinta Sari sambil menggerakkan pinggulnya ke depan untuk menyambut datangnya penis itu yang perlahan mulai mendesak lubang kencingnya.
“Uughhh,” Budi mendorong terus, berusaha memaksa penis besarnya untuk terus masuk.

“Tekan lebih kuat!” Sari memberi semangat. Dia juga sudah tak sabar ingin segera merasakan kontol besar Budi mengisi dan memenuhi liang rahimnya.

“Tahan ya, Kak.” Budi berpegangan pada payudara Sari yang besar dan mendorong. Bles… slep! Penis besarnya menyeruak masuk, merobek dan mengiris kemaluan Sari yang sempit dan legit.
“Uaargghhgggh!” mereka menjerit berbarengan.

“Sst,” Sari menyambar bibir tebal Budi, menyuruh pemuda itu untuk diam. “Jangan keras-keras, nanti abangmu bangun.” Dia membiarkan Budi melumat bibirnya sementara di bawah, penis raksasa milik pemuda itu mulai bergerak pelan, menggesek dan menjelajahi vaginanya.

“Habisnya…” Budi mempercepat goyangannya. “Tubuh Kakak nikmat sekali.” bisik pemuda itu sambil meremas payudara Sari keras-keras.
“Auw!” Sari memekik kesakitan, tapi tidak marah. Dia malah tersenyum, “K-kamu suka tubuh Kakak?” tanyanya kemudian.

“S-suka banget, Kak.” Budi menunduk untuk mencium dan menjilati puting payudara Sari yang tampak mencuat indah di depannya. Seperti bayi yang kehausan, pemuda itu mencucup dan menghisap-hisapnya dengan penuh nafsu.

“Uhh, geli, Bud,” Sari merintih, tapi tetap membiarkan pemuda itu melakukannya. Dia bahkan menekan kepala Budi, seperti menyuruhnya untuk menjilat dan menghisap lebih keras lagi. Siapapun orangnya, pasti juga akan suka diserang atas bawah seperti itu, tak terkecuali Sari. Tubuh wanita itu terlonjak-lonjak dan menggelinjang kesana-kemari mendapat serangan beruntun dari adik iparnya. Dia menceracau panjang pendek menikmati genjotan dan sodokan Budi pada tubuh sintalnya.

“Aahhh… Yaa, terus, Bud. Terus!”   rintih Sari tiap kali paha Budi menabrak pantatnya.
Penis pemuda itu terus bergerak liar, menggesek dan menggelitik dinding rahimnya, makin lama makin cepat hingga membuat Sari makin menggeliat-liat keenakan.

Rasa geli, nikmat dan entah apalagi, berbaur menjadi satu di dalam tubuhnya. Dia bisa melihat bagaimana batang penis adik iparnya yang besar itu keluar masuk dengan lancar di dalam liang kemaluannya. Meski tidak bisa menampung semuanya, tapi itu sudah cukup untuk membuat Sari menahan nafas tiap kali benda itu meluncur masuk menusuk ke dalam miliknya.

“Oohhhh… memek Kakak enak banget!” gumam Budi di sela-sela genjotannya. “Sudah dari dulu aku membayangkan ini.”
“Ah, benarkah?” Sari tidak pernah menyangka kalau diam-diam ternyata dia menjadi fantasi liar adik iparnya. Tapi Budi tidak salah juga sih, siapapun pasti akan melakukan hal yang sama kalau punya kakak ipar secantik dan seseksi Sari.

“Sejak pertama lihat Kakak, saya sudah bayangin bisa ngentot bareng gini.” Budi berterus-terang. Dia sudah tidak malu lagi untuk mengungkapkan isi hatinya.

Sari cuma bisa bersemu merah saat mendengarnya. Selain tak menyangka dengan kejujuran adik iparnya, dia juga sudah mulai tak tahan. Gesekan penis Budi di lubang vaginanya benar benar nikmat, membuat dia tak tahan untuk menahan lebih lama lagi.

“Kakak nggak marah kan?” Budi bertanya saat melihat Sari yang cuma diam dengan mata terpejam.
Sari menggeleng, “Kalau Kakak marah, apa bisa kamu ngentoti kakak sekarang?” tanyanya.
Budi tersenyum lega. “Terima kasih, Kak.” Dia menunduk untuk melumat bibir tipis Sari dengan mesra. Tangannya kembali meremas-remas payudara besar milik kakak iparnya yang membusung.

“Jangan kecewakan Kakak. Tunjukkan kalau kamu bisa menjadi laki-laki sejati. Puaskan aku!” bisik Sari dengan nafas memburu. Keringat sudah membanjiri tubuh sintalnya yang telanjang, padahal saat itu udara malam begitu dingin. Itu tanda kalau Sari sebentar lagi sudah mau orgasme.

“Iya, Kak.” Budi mengangguk. “Emang Mas Tarno nggak bisa muasin Kakak ya?” tanya pemuda itu. Seingatnya Mas Tarno juga punya penis yang besar. Nggak kalah dengan miliknya. Sepertinya nggak mungkin kalau dia tidak bisa muasin istrinya.
“Bang Tarno sedang tidur.” hanya itu jawaban dari Sari, sebuah jawaban yang tidak jelas sama sekali.

Tapi Budi tidak ambil peduli. Yang penting sekarang dia bisa merasakan kehangatan tubuh bugil Sari, tanpa harus tahu apa alasannya. Dia akan menikmati saat-saat indah ini sebaik mungkin karena bisa saja sewaktu-waktu Abangnya bangun dan memergoki mereka berdua. Budi tidak mau itu terjadi karena itu bisa sangat berbahaya. Jadi bocah itu segera memompa pinggulnya lebih cepat lagi dan menusukkan penisnya lebih dalam, berharap dengan begitu ia bisa segera meraih orgasmenya bersamaan dengan Sari yang sekarang mulai menjerit-jerit.

“Ahh, Bud, Ugghhhgh… A-aku dapet, Bud.” Vagina wanita itu terasa makin berkedut-kedut dan makin lama terasa makin kencang hingga dua detik kemudian… “AARRGGHHHRGGHHHH!!” Sari pun melengking tinggi dan melepas. Tubuh wanita itu melengkung ke belakang saat vaginanya meledak, menyemburkan cairan cinta lengket yang langsung merendam kontol besar milik Budi hingga ke ujung pangkalnya, beberapa bahkan merembes menetes di lantai karena saking banyaknya.

“Enak, Kak?” tanya Budi sambil terus menggerakkan pinggulnya, membuat penisnya yang besar terus bergesekan dengan dinding rahim Sari yang sekarang sudah begitu basahnya.

“Ehh, hahh.. hahh.. hahh..” cuma itu jawaban yang keluar dari bibir mungil Sari. Wanita itu bernafas pendek-pendek untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda tubuh sintalnya. Matanya sedikit terpejam dengan tubuh masih setengah gemetar. Dia pasrah saja ketika Budi menarik tubuhnya dan menyuruhnya untuk nungging di sebelah meja makan.

“Masih lama, Bud?” tanya Sari sambil menahan nafas saat adik iparnya itu kembali memasukkan penisnya, kali ini dari belakang. “Ughh!” dia melenguh pelan saat merasakan benda itu menerobos masuk dan meluncur cepat hingga mentok menabrak dinding rahimnya. “Ehm, pelan-pelan, Bud.” Sari mengernyit kesakitan, tapi di sisi lain juga menggelinjang kegelian karena gesekan kontol itu.

“Engh, s-sebentar lagi, Kak. Tinggal sedikit lagi.” Budi meraih payudara Sari yang menggantung indah dan meremas-remasnya pelan. “Mau dikeluarin dimana, di dalam apa di luar?” tanyanya sambil mulai menggoyangkan pinggul. Dari belakang seperti ini, vagina Sari terasa lebih menggigit, jepitannya terasa semakin kencang.

“N-nggak usah buru-buru, Bud. Santai saja. Kita nikmati malam ini sepuasnya.” sahut Sari manja. Dia mendesah sambil meremas-remas taplak meja menikmati genjotan adik iparnya yang terasa makin mantab.

Dibelakangnya, Budi menggeleng. Mana bisa dia menahan lebih lama lagi kalau penisnya terus diremas dan diurut seperti ini. Memek Sari terasa berkedut-kedut  makin kencang membungkus penisnya, membuat Budi yang sudah kegelian menjadi semakin geli. Geli tapi nikmat. Begitu nikmatnya hingga pemuda itu menggeram saat tak bisa lagi menahannya.

“UAARRGGGHHHHHHH!!” dengan tusukan dalam, spermanya yang dari tadi rasanya sudah berada di ujung akhirnya terlepas, meledak dan menyembur menyiram rahim Sari yang hangat, membuat benda itu menjadi semakin penuh dan lengket sekarang.

“Ehmmm,” Sari merintih saat perlahan Budi menarik penisnya dan memberikannya untuk dikulum.
“Bersihkan ya, Mbak.” Bocah itu meminta.

Sedikit mendesah, Sari meraih kontol Budi yang basah dan lengket. Dengan mata masih setengah terpejam, wanita cantik itu segera menelannya. Jarum jam menunjukkan pukul 2 dinihari ketika dua insan manusia itu akhirnya terbaring lemas di lantai dengan tubuh telanjang berpelukan beralaskan pakaian masing-masing.

“Terima kasih, Bud.” bisik Sari manja sambil mencium kening adik iparnya.

“Saya yang terima kasih, Kak” Budi  meremas pelan payudara Sari yang menempel di bahunya, terasa begitu lembut dan kenyal. “Saya sudah diijinin ngerasain tubuh Kakak.” Dengan gemas dia memijit dan memilin-milin putingnya yang mencuat indah.

“Kamu suka tubuh Kakak yang kaya gini?” Sari menunjuk perut hamilnya yang sedikit membusung.
“Kakak tetap cantik kok. Tubuh kakak selalu bisa memancing gairahku, apapun keadaanya.” terang Budi.
“Beneran?” Sari bertanya tak percaya.
“Nih buktinya.” Bocah itu menarik tangan Sari dan mengarahkan ke selangkangannya.

“Auw,” wanita itu menjerit kaget saat merasakan penis Budi yang kembali menegang dahsyat dalam genggamannya. “Sudah bangun lagi? Padahal baru juga 5 menit.” Sari berseru, kagum bercampur senang.
“Lima menit atau sepuluh menit nggak ada bedanya, Kak. Aku ingin ngentotin Kakak sepuasnya. Boleh kan?” bisik Budi sambil mengendus leher jenjang kakak iparnya.

“Ouh, lakukan, Bud. Lakukan apa yang kamu inginkan.” Sari mendesah. “Aku milikmu malam ini.” kejantanan bocah itu telah membuat Sari terbuai. Berapa kalipun Budi menginginkannya, Sari akan dengan senang hati memberikan tubuhnya karena dia juga menikmati permainan pemuda itu. Sangat menikmati malah. Jadi saat Budi membaringkan kembali tubuhnya di atas meja makan, Sari pun langsung menurut dan pasrah saja.

“Sayang, bangun. Kok tidur disini sih?” Tarno menepuk-nepuk bahu sang istri yang terlelap duduk di kursi meja makan. “Nggak pake baju lagi. Nanti masuk angin lho.” Laki-laki itu memunguti baju Sari yang berserakan dan menyampirkan ke tubuh sang istri. Tarno luput mengamati sebuah kain penutup wajah berwarna hitam yang tergeletak di bawah kursi yang tampak basah penuh dengan sperma.

“Ehm, oaahmm…” Sari menguap dan mengucek matanya. “Jam berapa sekarang, Pa?” dia menggeliat untuk melemaskan tubuhnya yang seperti remuk redam setelah dihajar Budi 3 ronde selama semalam suntuk. Baru satu jam lalu mereka selesai. Budi pulang lewat pintu belakang  dan Sari yang kelelahan akhirnya tertidur di kursi tanpa sempat mengenakan bajunya kembali.

“Jam 5 pagi.” sahut Tarno sambil mencolek mesra dada sang Istri. Saat laki-laki itu ingin meremasnya, Sari menghindar.
“Aku mau minum dulu, Pa. Haus.” Wanita itu beranjak menuju kulkas.

Sambil pura-pura mencari botol air, Sari mengelap sisa-sisa sperma Budi di payudaranya yang tampak masih belum kering benar. Tadi, di permainan terakhir, bocah itu menyemprot di wajah dan payudaranya. Sementara suaminya mandi, Sari segera  mengelap tubuhnya dengan air hangat untuk menghilangkan bau dan jejak perselingkuhannya semalam.

Biasanya, kalau malam nggak dapat jatah, Bang Tarno akan meminta di pagi hari sebelum berangkat kerja. Kalau sampai dia mencium bau sperma laki-laki lain di atas tubuhnya, dia bisa marah. Sari tidak mau itu terjadi. Dia masih ingin mengulangi lagi petualangannya yang mengasyikkan dengan Budi.

“Lagi ngapain, sayang?” Tarno keluar dari kamar mandi dengan tubuh telanjang. Penisnya yang besar terlihat tegak mengacung. Dia berjalan menghampiri Sari sambil mengocok dan mengurut-urut benda itu.

“Nungguin Papa.” bisik Sari manja. Dia melirik penis sang suami dan mau tak mau membandingkannya dengan milik Budi dan Pak Karta. Ketiga-tiganya sama-sama besar dan panjang, dan semuanya sanggup untuk memuaskannya dengan cara masing-masing. Sari tidak bisa kalau disuruh memilih salah satu. Dia ingin tiga-tiganya.